Beranda » 3 » PIDANA DAN PEMIDANAAN

PIDANA DAN PEMIDANAAN


PIDANA DAN PEMIDANAAN
Seperti sudah diketahui, bahwa Hukum Pidana itu dibangun diatas substansi pokok; yaitu : (1) tindak pidana, (2) pertanggungjawaban pidana, dan (3) pidana dan pemidanaan. Dengan demikian bahasan pidana dan pemidanaan ini adalah merupakan bagian tak terpisahkan dari kedua substansi Hukum Pidana yang telah diuraikan sebelumnya.
Pembahasan pidana dan pemidanaan, akan berkisar pada : (1) stelsel pidana, strafsoort, strafmaat, dan strafmodus, (2) pengertian pidana dalam Hukum Pidana, (3) teori pengenaan pidana, (4) aliran dalam hukum pidana, dan (5) perkembangan Substansi Hukum Pidana dalam rancangan konsep KUHP baru.

1. Stelsel Pidana
Stelsel pidana maksudnya adalah susunan pidana yang ada dalam Pasal 10 KUHP, yang terdiri dari :
a. Pidana Pokok:
1. pidana mati
2. pidana penjara
3. kurungan
4. denda
b. Pidana Tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu
2. perampasan barang-barang tertentu
3. pengumuman putusan hakim
stelsel pidana ini telah disesuaikan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1946, tanggal 31 Oktober 1946 (Soerodibroto, 1994: 16). Putusan Mahkamah Agung Nomor 59 K/Kr/1969, tanggal 11 Maret 1970 menegaskan bahwa menambah jenis hukuman yang ditetapkan dalam Pasal 10 KUHP adalah tidak dibenarkan. Ketentuan penjelasan terhadap masing-masing stelsel pidana tersebut dijabarkan dalam pasal-pasal lebih lanjut dalam Buku I, Bab II KUHP.
Dengan meninjau stelsel pidana, maka dengan mudah diketahui strafsoortnya yakni jenis-jenis pidana yang ada dalam stelsel tersebut baik dalam pidana pokok maupun dalam pidana tambahan, begitu pula dengan strafmaat (berat ringannya pidana), dan bentuk pengenaan pidananya (strafmodusnya). Akan tetapi patut dicatat bahwa perihal pelaksanaan (eksekusi) pidana mati seperti diterangkan dalam Pasal 11 KUHP yang menyatakan bahwa :”Pidana mati dijalankan oleh algojo ditempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat ditiang gantungan pada leher terpidana, kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri” Ketentuan ini telah diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1964, yakni dilaksanakan didepan satu regu tembak.
Pidana penjara strafsoortnya mencakup pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu (Pasal 12 ayat (1) KUHP). Strafmaat dari pidana penjara diterangkan dalam Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3) KUHP yang menjelaskan sebagai berikut :
(1) Pidana penjara selama waktu tertentu paling cepat dan paling lama lima belas tahun berturut-turut;
(2) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal yang kejahatan yang dipidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena perbarengan (concurcus), pengulangan (residive) atau karena ditentukan dalam Pasal 52 KUHP.
(3) Pidana penjarar selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.
KUHP mengenal pengaturan pidana maksimum, artinya dalam setiap delik ancaman pidana hanya diberi batas pidana maksimum saja tetapi tidak dikenal batas minimum pidana, missal dalam delik penggelapan Pasal 372 KUHP disitu dicantumkan ancaman pidana : “….dengan pidana paling lama empat Tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. Pernyataan yang digaris bawahi menunjukan batas maksimum pidana yang diancamkan. Contoh lain dalam delik fitnahan dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP disitu dicantumkan ancaman pidana :”….diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Mekanisme lebih lanjut tentang strafmaat diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan tuntutan pidananaya, dan diserahkan kepada Hakim untuk memutuskan berat ringannya pidana yang harus dijalankan oleh terpidana manakala terbukti sah dan meyakinkan serta dijatuhkan putusan pemidanaan yang sudah berkekuatan hukum pasti (kracht van gewisjde).
Strafmodus dalam KUHP bila diperhatikan dengan seksama, maka ada empat bentuk pengenaan pidana (strafmodusnya), yaitu :
(1) bentuk pengenaan pidana tunggal;
(2) bentuk pengenaan pidana alternatif;
(3) bentuk pengenaan pidana kumulasi; dan
(4) bentuk pengenaan pidana kombinasi.
Bentuk pengenaan pidana tunggal, maksudnya hanya satu jenis pidana yang dikenakan kepada terpidana, misal dikenakan pidana penjara saja. Bentuk pengenaan pidana alternatif biasa pengancamannya ditandai dengan kata “atau” misal dipidana dengan pidana penjara 10 tahun atau denda Rp. 12.000.000,00 (duabelas juta rupiah). Pengenaan pidana kumulasi artinya pengancamannya ditandai dengan kata “dan”; misal dikenakan pidana penjara 15 tahun dan denda Rp. 12.000.000,00 (duabelas juta rupiah). Bentuk pengenaan pidana kombinasi biasanya ditandai dengan kata “dan/atau”, misal dikenakan pidana penjara 15 tahun dan denda Rp. 12.000.000,00 (duabelas juta rupiah) dan/atau ditambah uang pengganti Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah) atau pidana kurungan 6 bulan.
Didalam delik-delik umum (commun delict) dilarang menggunakan kumulasi pidana pokok dalam mengenakan pidana pada satu delik, akan tetapi hal ini dimungkinkan dalam Tindak Pidana Khusus yang banyak tersebar diluar KUHP, seperti Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Korupsi atau Tindak Pidana Narkotika.

2. Pengertian Pidana
Kebanyakan kalangan menerjemahkan Pidana sebagai Hukuman, padahal hukuman bukan hanya ada dalam Hukum Pidana, tetapi hampir setiap bidang hukum juga mengenakan hukuman kepada pelanggalr normanya. Lebih janggal kalau pidana diartikan sebagai hukuman, maka Hukum Pidana diterjemahkan sebagai Hukum Hukuman.
Pidana dalam Hukum Pidana tidak memiliki arti yang konvensional seperti yang dikemukakan diatas, akan etapi memiliki pengertian khusus yang tidak sama dengan hukuman pada lapangan/bidang hukum lain diluar Hukum Pidana.
Selain Pidana, dikenal pula Pemidanaan, atau yang dimaksud sebagai pengenaan/pemberian/penjatuhan pidana. Pemidanaan lebih berkonotasi pada proses penjatuhan pidana dan proses menjalankan pidana, sehingga ada dalam ruanglingkup Hukum Panitentair.
Kedua persoalan itu (pidana dan pemidanaan) sangatlah penting dikaji, selain memiliki makna sentral sebagai bagian integral dari substansi Hukum Pidana, sekaligus memberi gambaran luas tentang karakteristik Hukum Pidana.
Sudarto (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992: 2) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuaan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Muladi dan Barda Nawawi Arief (1992: 4) dalam simpulannya tentang pidana mengandung ciri-ciri sebagai berikut :
(1) pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
(2) pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
(3) pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Hart yang pendapatnya dikutip oleh Packer (1968: 21) mengemukakan lima karakteristik yang harus ada dati suatu “punishment”, yaitu : HALAMAN 84.
Menurut pandangan Hart bahwa pidana haruslah mengandung penderitaan atau konsekuensi normal yang tidak menyenangkan. Pidana itu haruslah ditujukan kepada suatu pelanggaran aturan hukum.pidana harus dikenakan untuk membuktikan kepada pelanggar tentang delik yang dilakukannya, dan pidana itu harus dikenakan oleh badan yang berwenang dalam suatu system hukum disebabkan adanya suatu perbuatan kriminal (delik).
Akan tetapi harus dicatat bahwa tidak semua pengenaan derita dan keadaan tidak menyenangkan sama dengan pidana. Seperti pemberian electricity shock, dokter gigi yang mencabut gigi pasien. Perbuatan itu dimaksud mengenakan derita dan perasaan tidak menyenangkan tetapi bikan pidana. Untuk dapat dikatakan adanya pidana, apabila ada pernyataan pencelaan perbuatan pembuat delik. Sehingga dalam hal ini tepat yang dinyatakan oleh Roeslan Saleh (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1990: 2) bahwa Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik.

3. Tujuan pengenaan pidana
Didalam Hukum Pidana dikenal 3 (tiga) teori tujuan pengenaan pidana, yaitu (1) teori absolut, (2) teori relatif, dan (3) teori gabungan.
(1) Teori Absolut
Teori absolut ini disebut juga Teori Pembalasan, atau Teori Retibutif, atau vergeldings theorien. Muncul pada akhir abad ke-18. penganutnya antar lain Immanuel Kant, Julius Stahl, Leo Polak, Hegel, Herbart.

Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar.
Oleh karena itulah maka teori disebut teori absolute. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah pembalasan.
Vos menunjukkan bahwa teori pembalasan atau absolute ini terbagi atas pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah pembalasan terhadap kesalahan pelaku. Pembalasan objektif ialah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku di dunia luar. Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Selanjutnya Vos menunjuk contoh pembalasan objektif, di mana dua orang pelaku yang seorang menciptakan akibat yang lebih serius dari yang lain dan akan dipidana lebih berat.
Kant menunjukkan bahwa pidana merupakan suatu tuntutan etika. Setiap kejahatan harus disusul dengan pidana. Jadi, menurut Vos pendapat Kant hanya mengenai pembalasan subjektif. Pidana adalah tuntutan keadilan etis. Sebaliknya Hegel memandang perimbangan antara pembalasan subyektif dan objektif dalam suatu pidana, sedang Herbart hanya menekankan pada pembalasan objektif.

Variasi-variasi teori pembalasan itu diperinci oleh Leo Polak menjadi :
1) Teori pertahanan kekuasaan hukum atau pertahanan kekuasaan pemerintah Negara (rechtsmacht of gezagshandhaving).
Teori pertama menggambarkan pidana sebagai paksaan belaka. Akibat teori ini siapa yang secara suka rela menerima putusan hakim pidana dengan sendirinya tidak merasa bahwa putusan tersebut tidak sebagai penderitaan.

2) Teori kompensasi keuntungan (voordeelscompensatie).
Penganut teori kedua ialah Herbart yang mengikuti Aristoteles dan Thomas Aquino yang mengatakan apabila kejahatan tidak dibalas dengan pidana maka timbullah perasaan tidak puas. Memidana penjahat adalah suatu keharusan menurut estetika. Menurut estetika, penjahat harus dipidana seimbang dengan penderitaan korbannya. Jadi, pidana merupakan suatu kompensasi penderitaan korban. Hazewinkel-Suringa menjelaskan bahwa perasaan hukum menjadi pangkal pendapat Herbart. Tetapi ini berbahaya kata Hazewinkel-Suringa karena semata-mata sentiment belaka pada rakyat tidak boleh menjadi dasar pidana.

3) Teori melenyapkan segala sesuatu yang menjadi akibat suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan penghinaan (onrechtsfustrering en blaam).
Penganut teori ketiga adalah Hegel yang mengatakan bahwa etika tidak dapat mengizinkan berlakunya suatu kehendak subyektif yang bertentangan dengan hukum. Sejajar dengan teori Hegel ini ialah teori Von Bart yang mengatakan makin besar kehendak menentang hukum makin besar penghinaan atau reprobasi.

4) Teori pembalasan dalam menyelenggarakan persamaan hukum (talioniserende handhving van rechtsgelijkheid).
Teori yang keempat pertama kali dikemukakan oleh Heymans yang diikuti oleh Kant, Rumelin, Nelson, dan Kranenburg. Menurut teori ini asas persamaan hukum yang berlaku bagi semua anggota masyarakat menuntut suatu perlakuan menurut hukum yang sama terhadap setiap anggota masyarakat. Kranenburg menunjukkan pembagian syarat-syarat untuk mendapat keuntungan dan kerugian, maka terdapat hukum tiap-tiap anggota masyarakat mempunyai suatu kedudukan yang sama dan sederajat. Mereka yang sanggup mengadakan syarat-syarat istimewa akan mendapat keuntungan dan kerugian yang istimewa pula.
Keberatan terhadap teori pembalasan ialah : 1. teori ini tidak menerangkan mengapa Negara harus menjatuhkan pidana. 2. sering pidana itu tanpa kegunaan yang praktis.

5) Teori untuk melawan kecenderungan untuk memuaskan keinginan berbuat yang bertentangan dengan kesusilaan (kering van onzedelijke neigingsbevredining).
Teori yang kelima dikemukakan oleh Heymans yang mengatakan bahwa keperluan untuk membalas tidak ditujukan kepada persoalan apakah orang lain mendapat bahagia atau penderitaan, tetapi keperluan untuk membalas itu ditujukan kepada niat masing-masing orang. Niat-niat yang tidak bertentangan dengan kesusilaan dapat diberi kepuasan, sebaliknya niat-niat yang bertentangan dengan kesusilaan tidak boleh diberi kepuasan. Segala yang bertentangan dengan kesusilaan tidak boleh didapatkan orang.

6) Teori mengobjektifkan (objektiveringstheorie).
Teori yang keenam diperkenalkan oleh Leo Polak sendiri, berpangkal pada etika. Menurut etika Spinoza, tiada seorang pun boleh mendapat keuntungan karena suatu perbuatan kejahatan yang telah dilakukannya (ne malis expeidiat esse malos).
Menurut Leo Polak pidana harus memenuhi 3 syarat :
1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum objektif.
2. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Jadi pidana tidak boleh dijatuhkan untuk maksud prevensi.
3. Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.

Inti ajaran teori absolut adalah alam pemikiran pembalasan, bahwa kejahatan (delik) harus diikuti dengan pidana, dan hal ini bersifat mutlak. Pidana yang dikenakan kepada seseorang sebagai konsekuensi dari perbuatan jahat yang sudah dilakukan.

Menurut Karl O. Crisstiansen (Kartiman, 1994: 30) ada 5 (lima) ciri dari teori pembalasan ini, yaitu :
a) tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;
b) pembalasan adalah tujuan utama, dan didalamnya tidak mengandung sarana-sarana lain, misal untuk kesejahteraan manusia;
c) kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
d) pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pelanggar;
e) pidana melihat kebelakang, ia merupakan pencelaan murni, dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.
Teori pembalasan ini menyatakan pula bahwa pidana dikenakan kepada pelanggar adalah untuk memenuhi tuntutan rasa keadilan (to satisfy claims of justice).
1. Teori pembalasan yang obyektif, yang berorientasi [ada pemenuhan kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat. Dalam hal ini tindakan si pembuat kejahatan harus dibalas dengan pidana yang merupakan suatu bencana atau kerugian yang seimbang dengan kesengsaraan yang diakibatkan oleh si pembuat kejahatan.
2. teori pembalasan yang subyektif, yang berorientasi pada penjahatnya. Menurut teori ini kesalahan si pembuat kejahatanlah yang harus mendapat balasan. Apabila kerugian atau kesengsaraan yang besar disebabkan oleh kesalahan yang ringan, maka si pembuat kejahatan sudah seharusnya dijatuhi pidana yang ringan.

(2) Teori Relatif
Teori ini muncul sebagai reaksi dari teori absolut dengan keberatan terhadap tumpuan pembalasan yang dipandang kurang memuaskan. Tujuan utama pemidanaan ialah mempertahankan ketertiban masyarakat, melindungi kepentingan pribadi maupun publik dan mempertahankan tatatertib hukum dan tertib sosial dalam masyarakat (rechtsorde; soial orde).

Teori ini bertitik tolak pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib dalam masyarakat. Yang menjadi tujuan adalah tata tertib masyarakat dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Menurut sifatnya tujuannya adalah: bersifat menakut-nakuti, bersifat memperbaiki, dan bersifat membinasakan. Dan menurut sifat pencegahannya adalah pencegahan umum (menakut-nakuti dengan cara pelaku yang tertangkap dijadikan contoh) dan pencegahan khusus (tujuan dari pidana adalah untuk mencegah niat jahat dari si pelaku tindak pidana yang telah dijatuhi pidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi).

Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda : menakutkan, memperbaiki, atau membinasakan. Lalu dibedakan prevensi umum dan khusus. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik.

Bentuk tertua dari prevensi umum dipraktekkan sampai revolusi Prancis. Prevensi umum dilakukan dengan menakutkan orang-orang lain dengan jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan.

Kadang-kadang pelaksanaan pidana yang telah diputuskan itu dipertontonkan di depan umum dengan sangat ganasnya, supaya anggota masyarakat negeri melihatnya. Untuk itu terkenallah adogium Latin : nemo prudens punit, quia peccatum, sed net peccetur (supaya khalayak ramai betul-betul takut melakukan kejahatan, maka perlu pidana yang ganas dan pelaksanaannya di depan umum).
Pada zaman Aufklarung, abad ke 18, pelaksanaan pidana yang ganas ini ditentang secara besar-besaran. Terutama oleh Baccaria dalam bukunya Dei Delitti e delle Pene (1764).
Keberatan terhadap prevensi umum ini ialah dipergunakannya penderitaan orang lain untuk maksud prevensi umum. Bahkan ada kemungkinan orang tidak bersalah dipidana dipergunakan untuk maksud prevensi umum tersebut.

Teori baru diajukan oleh von Feurbach (1775-1833) dalam buknya Lehrbuch des peinlichen Rechts (1801) yang disebut teori paksaan psikologis (psichologische Zwang), ancaman pidana bekerja sebagai ancaman psikologis. Ancaman itu akan menakut-nakutkan orang untuk melakukan delik. Pelaksanaan pidana menurut teori ini hanya penting untuk menyatakan (merealisasi) ancaman itu,

Keberatan terhadap teori von Feurbach ini ialah ancaman pidan ayanga bersifat abstrak, sehingga sulit untuk terlebih dahulu menentukan batas-batas beratnya pidana yang diancamkan mngkin tidak seimbang antara beratnya delik yang secara konkret dilakukan.

Untuk memperbaiki teori von Feurbach, maka muncullah teori muller dalam tulisannya “De Straf in het Strafrecht “, Tijdschrift van Strafech, 44 (1935) yang mengatakan bahwa akibat preventif pidana tidaklah terletak pada eksekusi pidana maupun dalam ancaman pidana, tetapi pada penentuan pidana oleh hakim secara konkret (de concrete straf pleging door rechter). Dalam teori ini delik dipertanggungjawabkan kepada golongan orang tertentu. Ada anasir mendidik dalam teori ini.

Menurut Utrech teori Muller ini sesuai dengan masyarakat kolektivistis dan mungkin pada kemudian hari hukum pidana Indonesia (mengingat hukum adat) akan lebih kolektif.
Prevensi khusus yang dianut oleh van Hamel (Belanda) dan von Liszt (Jerman) mengatakan bahwa tujuan prevensi khusus ialah mencegah niat buruk pelaku (dader) bertujuan mencegah pelanggar mengulangi perbuatannya atau mencegah bakal pelanggar melaksanakan perbuatan jahat yang direncanakannya.

Van Hamel menunjukkan bahwa prevensi khusus suatu pidana ialah :
1. Pidana harus memuat suatu unsure menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya.
2. Pidana harus mempunyai unsure memperbaiki terpidana.
3. Pidana mempunyai unsure membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki.
4. Tujuan satu-satunya suatu pidana ialah mempertahankan tata tertib hukum.

Teori relatif memandang bahwa memidana bukanlah untuk memuaskan rasa keadilan untuk membalas perbuatan salah pelaku, sebab diyakini menurut teori relatif bahwa pembalasan itu tidak bernilai, namun diakui sebagai sarana melindungi kepentingan masyarakat. Ada tujuan lain yang dipandang lebih bermanfaat.
Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang membuat kejahatan) melainkan ne peccetur (supaya orang jangan melakukan kejahatan).
Pakar Hukum Pidana lain menamakan teori relatif ini dengan teori tujuan, yaitu tujuannya untuk melakukan pencegahan kejahatan (prevensi), baik prevensi khusus maupun prevensi umum.
Prevensi spesial dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana. Jadi pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkahlaku siterpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar siterpidana itu berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat (Muladi dan Nawawi Arief, 1992: 18).
Prevensi general dimaksudkan ada pengaruh penjatuhan pidana terhadap masyarakat umumnya. Artinya menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief (1992: 18) pencegahan kejahatan itu dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana.
Didalam Hukum Pidana beraliran Anglo-saxon seperti halnya di Amerika, yang terkenal dengan common lawnya, mengenal pula Tujuan Pengenaan pidana yang mirip dengan teori tujuan ini namun menggunakan istilah Specific Deterence dan General Deterence.
Daniel Hall (1991; 30) menjelaskan kedua tujuan pemidanaan itu sebagai berikut : HALAMAN 89.
Penjelasan Hall diatas jelaslah bahwa specific deterence itu mencoba untuk menghalangi atau mencegah seseorang yang sudah dipidana dari kejahatan-kejahatan yang diperkirakan dilakukan lagi pada waktu akan datang. Inilah yang disebut Negatif Reward Theory (teori ganjaran negatif). Dicontohkan Mr X yang sudah dipidana sekarang, kita mengajarkannya bahwa ia harus mendisiplinkan diri terhadap tingkahlaku kriminalnya pada waktu mendatang.
Sedangkan general deterrence mencoba untuk menghalangi atau mencegah semua anggota masyarakat dari perbuatan kriminal. Dijelaskan secara teoritis, bilamana masyarakat melihat Mr X sudah dijatuhi pidana akibat perbuatannya, maka aksi masyarakat adalah menahan atau mencegah perbuatan yang sama, dan juga takut apabila dijatuhi pidana yang serupa dengan Mr X.
Berdasarkan hal yang dijelaskan tersebut, maka teori ini disebut juga Teori Prevensi (teori deterensi).
Kartiman (1994: 31) mencoba untuk memberikan karakteristik teori tujuan ini sebagai berikut :
(1) tujuan pidana adalah pencegah;
(2) pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesejahteraan masyarakat;
(3) hanya pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja yang memenuhi syarat adanya pidana;
(4) pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;
(5) pidana melihat kemuka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung pencelaan.

(3) Teori Gabungan
Teori Gabungan mrupakan perpaduan dari Teori Absolut dengan Teori Relatif. Menurut Kartiman (1994: 31) bahwa Teori Gabungan ini deibedakan dalam 3 (tiga) aliran sebagai berikut :
a) Teori Gabungan yang menitikberatkan pembalasan, tetapi dengan maksud sifat pidana pembalasan itu untuk melindungi ketertiban hukum;
b) Teori Gabungan yang menitikberatkan pada perlindungan masyarakat; dan
c) Teotri Gabungan yang menitikberatkan sama antara pembalasan dengan perlindungan kepentingan masyarakat.
Teori Gabungan yang pertama, yaitu menitikberatkan unsure pembalasan dianut antara lain oleh Pompe. Pompe mengatakan: “Orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan. Memang, pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain,tetapi tetap ada cirri-cirinya. Tetap tidak dapat dikecilkanartinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi itu. Dan karena itu hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum.”

Van Bemmelan pun menganut teori gabungan dengan mengatakan: “Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat.” (Diterjemahkan dari kutipan oemar Seno Adji.1980).

Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana baratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.

Teori yang dikemukakan oleh Grotius dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zevenbergen, yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana ialah melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintah.

Teori gabungan yang kedua yaitu yang menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar daripada yang seharusnya.
Teori ini sejajar dengan teori Thomas Aquino yang mengatakan bahwa kesejahteraan umum menjadi dasar hukum undang-undang pidana khususnya.

Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah melindungi kesejahteraan masyarakat.
Menurut Vos pidana berfungsi sebagai prevensi umum, bukan yang khusus kepada terpidana, karena kalau ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah berpengalaman.

Teori gabungan yang ketiga, yaitu yang memandang sama pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Ini kurang dibahas oleh para sarjana.

KUHP masih dipengaruhi oleh aliran hukum pidana Neo Klasik (Aliran dalam Hukum Pidana akan diuraikan setelah pembahasan teori pemidanaan ini) namun dalam rancangan konsep KUHP baru sudah dengan tegas dicantumkan tujuan pemidanaan adalah sebagai barikut :
a) mencegah dilakukannya tindak pidana dengan meneakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b) memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c) menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d) membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Landasan filosofis dari tujuan pemidanaan ini adalah tidak dimaksudkan untuk menderitakan, dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang tercantum di dalam Rancangan KUHP tersebut merupakan penjabaran teori gabungan dalam arti yang luas. Ia meliputi usaha prevensi, koreksi kedamaian dalam masyarakat dan pembebasan rasa bersalah pada terpidana (mirip dengan expiration).

(4) Teori Pembinaan
Teori ini lebih mengutamakan perhatiannya pada si pelaku tindak pidana, bukan pada tindak pidana yang telah dilakukan. Pidana tidak didasarkan pada berat ringannya tindak pidana yang dilakukan, melainkan harus didasarkan pada keperluan yang dibutuhkan untuk dapat memperbaiki si pelaku tindak pidana.
Menurut teori ini tujuan pidana untuk merubah tingkah laku dan kepribadian si pelaku tindak pidana agar ia meninggalkan kebiasaan jelek yang bertentangan dengan norma hukum serta norma lainnya agar supaya ia lebih senderung untuk mematuhi norma yang berlaku. (TUJUAN PIDANA ADALAH UNTUK MEMPERBAIKI PELAKU TINDAK PIDANA)