Beranda » PERKOSAAN » PERKOSAAN

PERKOSAAN


Kejahatan Perkosaan dalam Hal Persetubuhan

Kejahatan perkosaan (verkrachting) dalam hal persetubuhan dimuat dalam Pasal 285 yang rumusannya adalah sebagai berikut.
‘Barang siapa dengan kekerasan atan ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Menurut Wirjono, kata perkosaan sebagai terjemahan dan kualifikasi aslinya (Belanda), yakni verkrachting tidaklah tepat karena istilah perkosaan tidak menggambarkan secara tepat tentang perkosaan menurut arti yang sebenarnya dan kualifikasi verkrachting, yakni perkosaan untuk bersetubuh. Oleh karena itu, menurut beliau kualifikasi yang tepat untuk Pasal 285 mi adalah perkosaan untuk bersetubuh (Wirjono, 1980:123).

Apabila rumusan perkosaan di atas dirinci, terdiri dan
unsur-unsur sebagai berikut.
a. Perbuatannya: memaksa;
b. Caranya: 1) dengan kekerasan;
2) ancaman kekerasan;
c. Objek: seorang perempuan bukan istrinya;
d. bersetubuh dengan dia:

Pengertian perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri. Menerima kehendaknya mi setidaknya ada dua macam, yaitu.
a. menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya; atau
b. orang yang dipaksa berbuat yang sama sesuai dengan apa yang dikehendaki orang yang memaksa.

Untuk yang pertama terdapat pada memaksa menurut Pasal 285, yakni bersetubuh dengan dia, atau bersedia disetubuhi. Demikian juga memaksa pada Pasal 289 dalam hal membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Sementara itu, untuk yang kedua misalnya terdapat pada Pasal 368 (pemerasan), 369 (pengancaman) di mana perbuatan memaksa ditujukan agar orang yang dipaksa melakukan perbuatan yang sama dengan kehendaknya, yakni menyerahkan benda, menghapuskan piutang dan membuat utang.

Cara-cara memaksa di sini terbatas dengan dua cara, yaitu kekerasan (geweld) dan ancaman kekerasan (bedreiging met geweld). Dua cara memaksa itu tidak diterangkan lebih jauh dalam undang-undang. Hanya mengenai kekerasan, ada Pasal 89 yang merumuskan tentang perluasan arti dan kekerasan, yaitu membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. R.Soesilo memberi arti kekerasan dengan kata-kata mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak sah (Soesilo,1980:84). Menurut Satochid kekerasan adalah setiap perbuatan yang terdiri atas digunakannya kekuatan badan yang tidak ringan atau agak berat (Satochid, 1:92).

Ada dua fungsi kekerasan dalam hubungannya dengan tindak pidana yang bersangkutan, yaitu sebagai berikut.
a. Kekerasan yang berupa cara melakukan suatu perbuatan.
Kekerasan di sini memerlukan syarat akibat ketidakberdayaan korban. Ada causal verband antara kekerasan dengan ketidakberdayaan korban. Contohnya kekerasan pada perkosaan, yang digunakan sebagai cara dan memaksa bersetubuh. Juga pada pemerasan (Pasal 368), yang mengakibatkan korban tidak berdaya, dengan ketidakberdayaan itulah yang menyebabkan korban dengan terpaksa menyerahkan benda, membuat utang atau menghapuskan piutang.
b. Kekerasan yang berupa perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana, bukan merupakan cara melakukan perbuatan. Contohnya kekerasan pada Pasal 211 atau 212.

Berdasarkan uraian di atas, maka kekerasan dalam pengertian Pasal 285 (kekerasan yang disebut pertama) dapatlah didefinisikan sebagai suatu cara/upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik. Karena dalam keadaan yang tidak berdaya itulah, orang yang menerima kekerasan terpaksa menerima segala sesuatu yang akan diperbuat terhadap dirinya (walaupun bertentangan dengan kehendaknya), atau melakukan perbuatan sesuai atau sama dengan kehendak orang yang menggunakan kekerasan yang bertentangan dengan kehendaknya sendiri.

Sifat kekerasan itu sendiri adalah abstrak, maksudnya wujud konkretnya cara kekerasan itu ada bermacam-macam yang tidak terbatas. Misalnya memukul dengan kayu, menempeleng, menendang, menusuk dengan pisau dan lain sebagainya.

Kini apakah yang dimaksud dengan ancaman kekerasan? Ancaman kekerasan adalah “ancaman kekerasan fisik yang ditujukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang berupa kekerasan, yang akan dan mungkin segera dilakukan/diwujudkan kemudian bilamana ancaman itu tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diinginkan pelaku.” Contoh si laki-laki (pembuat) menghunus belati dengan mengancam hendak melukai tubuh atau membunuh korban dengan belati dan memaksa korban untuk bersetubuh dengan dia, yang akibatnya korban secara psikis timbul rasa ketakutan akan ditusuk dengan belati. Rasa cemas akan dibunuh, menyebabkan korban menjadi tidak berdaya sehingga dalam keadaan yang tidak berdaya inilah korban terpaksa membiarkan dilakukan persetubuhan terhadap dirinya.

Ancaman kekerasan mengandung dua aspek penting, yaitu sebagai berikut.
1. Aspek objektif, ialah (a) wujud nyata dan ancaman kekerasan yang berupa perbuatan persiapan dan mungkin sudah merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan untuk dilakukannya perbuatan yang lebih besar yakni kekerasan secara sempurna; dan (b) menyebabkan orang menerima kekerasan menjaai tidak berdaya secara psikis, berupa rasa takut, rasa cemas (aspek subjektif yang diobjektifkan).

2. Aspek subjektif, ialah timbulnya suatu kepercayaan bagi si penerima kekerasan (korban) bahwa jika kehendak pelaku yang dimintanya tidak dipenuhi yang in casu bersetubuh dengan dia, maka kekerasan itu benar-benar akan diwujudkan. Aspek kepercayaan mi sangat penting dalam ancaman kekerasan sebab jika kepercayaan mi tidak timbul pada din korban, tidaklah mungkmn korban akan membiarkan dilakukan suatu perbuatan terhadap dirinya.
Kekerasan dan ancaman kekerasan ditujukan pada seorang perempuan yang bukan istrinya. Antara kekerasan dengan ketidakberdayaan perempuan itu terdapat hubungan kausal, dan karena tidak berdaya itulah persetubuhan dapat terjadi. Jadi sebenarnya terjadinya persetubuhan pada dasarnya adalah akibat dan perbuatan memaksa dengan menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan itu. Oleh karena itu, perkosaan mi adalah tindak pidana material, dan bukan tindak pidana formal walaupun dirumuskan juga perbuatan yang dilarang dalam Pasal 285 yakni memaksa.

Kekerasan yang bersifat fisik dengan kekuatan yang besar dan ditujukan pada orang lain yang in casu seorang perempuan, dapat menimbulkan akibat luka berat atau kematian. Dalam kejahatan perkosaan bersetubuh, akibat luka berat tidak merupakan alasan pemberatan. Akan tetapi, akibat kematian adalah
merupakan dasar pemberatan pidana, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 29 ayat (2) menjadi diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.